Ahad, 1 Mei 2011

Kajian :Latar Belakang Sosial Budaya Suku Bajo(Bajau) di Sulawesi Tenggara
Dari Penulis
 
 Kajian 1
Nenek moyang bangsa Indonesia dikenal sebagai pelaut ulung. Julukan itu agaknya masih melekat pada keseharian masyarakat suku Bajo di Sulawesi Tenggara. Sejak ratusan tahun lampau, warga Bajo memang hidup di atas laut. Dengan hanya menggunakan perahu, mereka piawai mengarungi gelombang demi gelombang tanpa mengenal lelah. Hingga akhirnya, para pendahulu suku Bajo membangun pemukiman di permukaan samudera. Di mata masyarakat suku Bajo, laut adalah segalanya. Mereka memandang laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Sejak ratusan tahun lampau, masyarakat suku Bajo memandang laut sebagai lahan mencari nafkah, tempat tinggal, serta beranak-pinak. Masyarakat Bajo adalah nelayan tradisional yang mampu memanfaatkan kekayaan laut untuk bertahan hidup.
Pada umumnya, masyarakat suku Bajo tersebar dan hidup di perairan Indonesia dengan mata pencarian sebagai nelayan. Hampir di seluruh wilayah perairan di Indonesia mengenal adanya masyarakat suku Bajo yang hidup dan bertempat tinggal di daerah pesisir laut. Lingkungan masyarakat suku Bajo dari dulu hingga sekarang tidak pernah lepas dari laut. Kelompok atau komunitas suku Bajo dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan laut dan perahu. Mereka terkadang berpindah-pindah dari satu pantai ke pantai yang lain di Kepulauan Indonesia. Dalam catatan Magellan ditunjukkan bahwa suku Bajo telah hidup sebagai orang laut sejak awal abad ke-16 (Ahimsa, 1995: 12). Pola hidup mengembara ini membuat orang-orang Eropa menyebut mereka sebagai sea gypsies (gipsi laut) atau sea nomads (pengembara laut). Sebagai pengembara laut, mereka sudah mulai mencoba untuk menetap di suatu tempat sementara, yaitu di pantai atau di pesisir laut. Mereka bekerja dengan mencari hasil-hasil laut mulai dari ikan hingga akar bahar kemudian dijualnya kepada masyarakat yang tinggal di daratan (Soesangobeng, 1997: 5).
Dalam persoalan kelautan, suku Bajo merupakan orang Indonesia yang paling mengenal laut dan kehidupan di dalamnya. Mereka memiliki pengetahuan yang kompleks mengenai lautan. Tampaknya, pengetahuan yang dimiliki itu tidak tertandingi oleh sukusuku bangsa lain. Keakraban mereka dengan laut, kemampuan mereka untuk hidup dalam situasi dan kondisi seperti apa pun di laut, mau tak mau membuat mereka bangga akan budaya mereka dan kehidupan mereka. Keadaan ini membuat mereka merasa superior dengan kebajoan mereka (Scot, dikutip Hag, 2004: 5). Suku Bajo yang ada di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kendari sangat dikenal dan akrab dengan nama manusia perahu, tinggal dan hidup di laut. Menginjak daratan sangat tabu bagi masyarakat suku Bajo sehingga masyarakat yang ada di darat dianggap mahluk luar yang tidak perlu diajak bicara, karena bagi mereka tidak mempunyai kepentingan dengan manusia yang tinggal di darat. Relevansi dari fenomena tersebut secara psikologis membuat suku Bajo merasa superior dari masyarakat yang ada di luar mereka, tetapi tak sedikit di antara mereka juga merasa inferior atas penduduk yang tinggal di darat. Hasil analisis kehidupan sosial-budaya masyarakat suku Bajo yang dilakukan oleh Ahimsa (2001) tergambar bahwa masyarakat suku Bajo merasa superior dari segi kelautan. Secara psikologis, mereka merasa perkasa dan lebih jago dari masyarakat yang ada di darat karena mampu mengarungi samudera bagaimanapun besar dan dalamnya samudera itu. Namun, mereka di sisi lain merasa inferior karena orang-orang darat mempunyai peradaban dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi dibanding mereka yang hanya bergelut di laut. Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika muncul persepsi di luar masyarakat suku Bajo bahwa suku Bajo adalah masyarakat terasing,
terbelakang, dan tertutup (Ahimsa, 2001: 33). Keistimewaan yang dimiliki oleh masyarakat suku Bajo, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan laut dan perahu membuat mereka meyakini bahwa lautxii adalah segalanya. Di dalam laut terdapat dewa laut yang menjadi penguasa atasnya yang disebut dengan culture hero. Dewa meskipun pada dasarnya bersikap baik dan menjadi penolong bagi manusia, namun sewaktu-waktu bisa juga menjadi murka. Oleh karena itu, keselamatan manusia tergantung dari sikap dan tutur yang ditampilkannya ketika sedang berada di laut agar dewa laut tidak murka dan senantiasa selalu bersahabat terhadap mereka. Untuk itu, maka terciptalah suatu puji-pujian yang ditujukan pada dewa laut beserta para penghuni laut lainnya dengan tujuan agar mereka mendapatkan kemudahan dan dijauhkan dari segala hambatan yang dapat membuat mereka menemui kesulitan. Dalam masyarakat suku Bajo di Sulawesi Tenggara, puji-pujian atau yang lebih dikenal dengan istilah mantra atau mamma sifatnya sangat tertutup. Mantra bagi mereka adalah sesuatu yang luar biasa. Pengetahuan mengenai mantra tertentu yang ditunjangdengan keahlian melaut membuat mereka tampil sebagai “raja laut”.
Tidaklah mengherankan jika kemudian mantra atau mamma sangat diyakini pengaruhnya terhadap segala aktivitas yang dilakukan dalam kaitannya dengan kegiatan melaut. Mulai dari saat akan berangkat ke laut sampai kembali ke rumah, masyarakat suku Bajo memiliki mantra tersendiri untuk setiap bentuk kegiatan. Dengan dibacakannya mantra tersebut ditambah dengan persyaratan lainnya, mereka mengharapkan bisa memperoleh keselamatan dan hasil yang banyak. Salah satu contoh mantra yang digunakan dalam hubungannya dengan kegiatan melaut adalah mantra untuk mengikat pancing. Mantra tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

Bismillahirrahmanirrahim
E – papu . . .
Batingga niqmatnya
Pasitummuanna Adam baqa Hawa
Battiru pun niqmatnya
Pasitummuanna umpang itu baqa dayah
(Uniawati, 2006: 20)

Tempat-Tempat Pemukiman Suku Bajo
 Tidak banyak orang yang paham mengenai penyebaran suku Bajo di Indonesia. Masyarakat suku Bajo adalah termasuk kategori komunitas pelaut yang tidak bisa hidup di daerah gunung. Bajo identik dengan air laut, perahu, dan permukiman di atas air laut. Oleh karena itu, penyebarannya pun terjadi disepanjang perairan di Indonesia. Brown (dikutip Ahimsa, 1995: 35) mengatakan bahwa persebaran suku Bajo yang luas di perairan Indonesia terlihat dari nama-nama tempat persinggahan mereka di berbagai pulau di kawasan Indonesia yang biasanya disebut dengan Labuan Bajo. Dari kepulauan Selat Sunda di Indonesia Bagian Timur sampai Pantai Sumatera di Indonesia Bagian Barat, dapat ditemukan nama-nama seperti Labuan Bajo (di Teluk Bima, Nusa Tenggara Timur), Kima Bajo, Talawan Bajo, dan Bajo Tumpaan (di Manado), Mien Bajo (di Sulawesi Tenggara), dan Tanjung Sibajau (di Kepulauan Simeuleue, Aceh). Di berbagai tempat, masyarakat suku Bajo banyak yang akhirnya menetap, baik dengan inisiatif sendiri atau “dipaksa” pemerintah. Namun, tempat tinggalnya pun tidak pernah jauh dari laut. Banyak orang Bajo yang akhirnya menetap, sedang lainnya masih berkelana di lautan. Mereka membangun pemukiman-pemukiman baru di berbagai penjuru laut Indonesia. Ada beberapa tempat pemukiman suku Bajo yang ditulis oleh Bambang Priantono, utamanya di Pulau Sulawesi dan Nusa Tenggara sebagai pusat pemukimannya. Tempat-tempat itu adalah Bali (Singaraja dan Denpasar), Nusa Tenggara Barat ( Labuhan Haji, Pulau Moyo, dan Bima di belahan timur Sumbawa), Nusa Tenggara Timur (Labuhan Bajo, Lembata: (Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba dan Lewoleba), Pulau Adonara (Meko, Sagu dan Waiwerang), Pulau Solor, Alor dan Timor (terutama Timor Barat), Gorontalo (Sepanjang pesisir Teluk Tomini), Sulawesi Tengah (Kepulauan Togian, Tojo Una-Una, Kepulauan Banggai, Parigi Moutong dan Poso), Sulawesi Tenggara (Pesisir Konawe dan Kolaka, Pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau Wolio, Pulau Buton, dan Kepulauan Wakatobi), Sulawesi Selatan (Bajoe).
 Asal-Usul Suku Bajo di Sulawesi Tenggara
 Suku Bajo dapat dikatakan sebagai salah satu suku terasing di Indonesia yang  umumnya bertempat tinggal di laut. Khusus di daerah Sulawesi Tenggara, sebagian suku Bajo tinggal berkelompok di pesisir laut dan sebagian lagi tinggal di tengah laut yang dekat dengan pulau-pulau kecil. Keadaan yang demikian menyulitkan masyarakat luar untuk menjangkau daerah pemukiman masyarakat suku Bajo, sehingga tidak terjadi interaksi yang maksimal. Hag (2004: 52) mengatakan bahwa pola hidup masyarakat suku Bajo cenderung memisahkan diri dari kehidupan kelompok masyarakat yang tinggal di darat. Asal-usul mengenai kehidupan masyarakat suku Bajo yang menetap di Sulawesi Tenggara sampai sekarang masih simpang-siur. Sebagian orang beranggapan bahwa sesungguhnya suku Bajo berasal dari Luwu, salah satu daerah di Sulawesi Selatan. Ada pula sebagian orang yang beranggapan bahwa suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Untuk setiap anggapan itu, lahir berbagai macam cerita tentang suku Bajo dengan versi yang berbeda-beda. Di bawah ini adalah dua versi cerita tentang asal-usul suku Bajo.
 Versi Masyarakat Suku Bajo di Kendari
 Sejak abad ke-15 Masehi, di Semenanjung Malaka berdiri sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Johor. Kerajaan ini diperintah oleh seorang sultan bernama Sultan Mahmud. Konon, Sultan Mahmud memiliki seorang putrid yang cantik jelita. Beliau sangat menyayangi putrinya. Hampir di setiap kesempatan, beliau selalu ditemani oleh putrinya. Suatu ketika, putri Sultan Mahmud bermain-main di pinggir laut bersama dengan teman-temannya. Karena keasyikan, tanpa sadar putri Sultan Mahmud bermain agak ke tengah laut. Pada saat itu, tiba-tiba datang gelombang laut yang besar dan menerjang tubuh putri itu. Dalam sekejap, tubuh putri itu lenyap terbawa gelombang. Sultan Mahmud yang mengetahui berita ini dari salah seorang pengawalnya menjadi sangat murka. Dia lalu memerintahkan seluruh rakyatnya untuk mencari putrinya yang hilang. “Pantang bagi kalian untuk kembali ke kerajaan ini tanpa membawa serta putriku.”Dalam pada itu, berangkatlah segenap rakyat Kerajaan Johor mengarungi samudera dengan arah yang tidak menentu. Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan mereka terus berlayar dengan harapan dapat menemukan putri itu. Namun, dalam pencarian itu, mereka tetap tidak dapat menemukan Sang Putri. Akhirnya, mereka yang diberi tugas untuk mencari Sang Putri menduga bahwa Sang Putri telah hanyut di laut dan tidak ada bekas apa pun yang dapat mereka ambil sebagai barang bukti untuk meyakinkan Sultan Mahmud. Karena tidak berani lagi kembali ke Kerajaan Johor untuk menghadap sultan, mereka pun lalu memutuskan untuk terus berlayar mengikuti tiupan angin. Dalam pelayaran tersebut, ada beberapa perahu yang terdampar di pesisir laut Sulawesi Selatan, yaitu di Teluk Bone (Bajoe). Pada saat itu, perairan Bajoe belum dihuni oleh masyarakat Bone. Mereka yang terdampar itu oleh orang Bugis Bone digelari To Bajo yang artinya bayang-bayang. Hal ini karena mereka selalu tampak seperti bayang-bayang dalam penglihatan orang Bugis Bone. Untuk menyambung hidup, mereka mencari ikan. Justru itu, mereka selalu mencari
tempat atau pula-pulau yang lebih bagus untuk mereka tinggali dan mencari ikan. Tempat tinggal mereka pun bergantung dari ketersediaan sumber hidup mereka. Sebagian dari mereka ada yang berlayar sampai di beberapa kepulauan di Kabupaten Muna, Buton, dan Kendari. Pada saat munculnya gerombolan, banyak orang Bajo yang dikejar-kejar oleh mereka. Untuk menyelamatkan diri, mereka tersebar lagi di beberapa tempat seperti Lasolo, Tobea, Pulau Tiga, Tanjung Perak, Labuan, Buton, dan bahkan ada yang sampai di ButungButung, pantai Kota Raha. Di tempatnya masing-masing, mereka merasa aman sehingga memutuskan untuk menetap hingga sekarang.
 Kajian 2
Bajo “Selalu Menyatu dengan Laut”
Tidak banyak orang yang tahu mengenai penyebaran suku Bajo di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tengara Barat, Bali, Makassar sampai di Papua. Mereka adalah orang pelaut yang tidak bisa hidup di daerah gunung. Bajo identik dengan air laut, perahu, dan permukiman di atas air laut. Kalau di Lembata ini kami tersebar dari Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba, dan Lewoleba. Di Adonara suku ini ada di Meko, Sagu, dan sebagian di Waiwerang. Di Pulau Flores terpusat di Pulau Babi yang tenggelam tahun 1992 akibat tsunami, dan dapat ditemukan hampir di setiap pesisir pantai termasuk di Labuan Bajo, Manggarai,” kata Jamali Lintang, Koordinator Kerukunan Suku Bajo di Lewoleba bulan lalu. Ditemui di pinggir pantai Lewoleba saat air laut surut, Lintang sedang membakar lumut di bagian dasar perahu, yang panjangnya lima meter dan lebarnya satu meter. Perahu dibakar dengan daun kelapa kering dengan tujuan perahu lebih lincah bergerak menuju sasaran. Lintang mengaku bersama sekitar 50 kepala keluarga suku Bajo menempati pesisir pantai Lewoleba tahun 1960, yang lainnya menyebar ke utara dan selatan Pulau Lembata. Sebelumnya mereka berada di Meko, Kecamatan Klubagolit, di Pulau Adonara mereka mengaku suku asli dari Meko. Tetapi setelah ditelusuri, asal usul suku Bajo sesungguhnya dari Sulawesi. Buktinya, selain menguasai bahasa daerah setempat seperti Lamaholot (Lembata) mereka juga berkomunikasi dengan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa Bugis, Sulawesi Selatan. Suku Bajo di Lewoleba mengaku berasal dari suku Bone di Sulawesi Selatan.
Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan bahasa Bajo, kecuali mereka berada di tengah kebanyakan warga Lamaholot. Suku Lamaholot terdiri dari warga Pulau Adonara, Solor, Lembata, dan daratan Flores Timur. Suku Bajo di Lewoleba mencari ikan di sekitar perairan Pulau Lembata, Adonara, dan Solor. Mereka tidak pergi jauh dari daerah itu karena saat ini hampir setiap perairan sudah dikapling oleh masing-masing nelayan. “Jangan percaya kepada mereka yang tinggal di pedalaman atau di gunung, tetapi mengaku suku Bajo. Bajo itu sendiri artinya mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo. Orang Bajo tidak bisa tinggal di tanah daratan kecuali sudah terjadi proses perkawinan dari generasi ke generasi, yang menyebabkan perubahan budaya, pola pikir, dan adat istiadat Bajo,” tutur Lintang. Agama Islam menjadi pilihan satu-satunya bagi seluruh warga Bajo. Bukan warga Bajo kalau ia beragama lain karena agama itu diwariskan nenek moyang dari dahulu kala. Paulus Bapa Muda Pue, mantan asisten tiga Sekda Flores Timur, menyebutkan, meski sudah ratusan tahun warga Bajo tinggal di antara warga Kristen, mereka tetap menjaga identitas diri mereka sebagai orang yang taat shalat lima waktu dan berpegang teguh pada keyakinan yang diwariskan nenek moyang. Suku Bajo sangat menghormati adat istiadat masyarakat setempat dan selalu menjaga kerukunan bersama.
Kebersamaan dan persatuan di antara warga suku Bajo sangat kuat. Mereka mampu bertahan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya karena persatuan dan kesatuan yang dibangun di antara mereka. Kerja sama paling nyata di antara warga Bajo sering terlihat dalam hal mata pencarian. “Jika ada sesama warga Bajo kesulitan mendapatkan ikan di laut, warga Bajo lain menolong. Atau yang satu belum memiliki perahu untuk menangkap ikan, yang lain membantu menyumbangkan perahu cuma-cuma. Ini tidak ada satu wadah tertentu. Sikap membantu tersebut lahir secara spontanitas turun temurun,” papar Bapa. Suku Bajo menyebar di sejumlah provinsi di Indonesia, seperti di Nusa Tengara Barat, Bali, Maluku, Papua dan pesisir pantai Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Mereka dapat diidentifikasi dari bahasa daerah yang digunakan. Di daerah lain mereka tidak menyebut diri Bajo, tetapi suku Bugis atau Makassar atau Buton. Keberadaan mereka di daerah itu pun sudah ratusan tahun silam. Sebagian dari mereka telah kawin dengan penduduk asli, dan membentuk permukiman Muslim di pesisir pantai. Lapande, Ketua RT bagi suku Bajo di pantai Lewoleba menyebutkan, suku Bajo adalah suku pelaut. Mereka mewarisi jiwa dan tradisi melaut dari nenek moyang yang diyakini dari Makassar.
Bajo dalam bahasa Lamaholot artinya mendayung perahu. Di beberapa tempat di Flores Timur kelompok ini disebut Wajo, Watan, Besidu. Wajo sama artinya dengan bajo, yakni mendayung, alat mendayung perahu. Watan artinya pantai, keseluruhan hidup di pesisir pantai. Besidu artinya rumah panggung di atas air, kehidupan di atas air laut, bertengger di atas air laut. Mata pencarian orang Bajo adalah nelayan. Sampai tahun 1960-an orang Bajo tidak bisa menginjakkan kaki di tanah daratan sehingga hasil tangkapan dijual langsung di atas perahu. Mereka tidak boleh menginjak semut atau bersentuhan dengan semut. Suku ini memproduksi ikan kering dalam jumlah besar kemudian dijual ke pasar bahkan ke pasar-pasar tradisional di Kupang. Dari 50 keluarga di pantai Lewoleba dihasilkan 100 ton ikan kering per tahun. Jenis ikan yang dihasilkan biasanya ikan tembang, cumi-cumi, atau ikan tongkol. Nyaris tidak ada suku Bajo yang menyekolahkan anak sampai tingkat perguruan tinggi. “Kebanyakan orangtua berpikir, sekolah sampai sarjana pun tidak mendapat tempat yang layak di pemerintahan karena mereka berada di daerah yang dianggap sebagai warga pendatang. Kembali ke kampung asal di Sulawesi pun dianggap pendatang karena tidak memiliki kartu tanda penduduk setempat,” ujar Lapande. Permohonan mendapat bantuan kredit pengadaan perahu, pukat, dan fasilitas lain dari pemerintah daerah setempat pun sangat sulit. Padahal, mereka pun sudah tinggal di Lewoleba sejak 1960-an. Menurut Lintang, warga Bajo jarang mendapatkan kartu keluarga miskin atau kartu pengobatan gratis. Padahal, mereka membayar pajak kepada pemerintah, termasuk retribusi usaha sebagai nelayan.
Mengenai Pulau Siput yang berada sekitar lima kilometer di depan perkampungan suku Bajo, Lintang menyebutkan, tahun 1960-an di pulau itu hidup penduduk asli sekitar tujuh keluarga. Akibat tsunami tahun 1968, pulau itu nyaris rata dengan permukaan air laut. Di sana tak ada lagi kehidupan kecuali hamparan pasir putih. Pulau yang sebelum tsunami luasnya 1 kilometer persegi, kini tersisa 500 meter persegi memanjang dari timur ke barat. Disebut Pulau Siput karena di pulau itu terdapat jutaan siput setiap terang bulan. Saat air laut surut, tumpukan siput memenuhi pulau. Siput itu diambil penduduk suku Baji dan diolah sebagai dendeng siput. “Belakangan sudah sangat sulit mendapat siput di pulau itu. Orang harus menggunakan alat khusus untuk menggali atau menusuk pasir untuk mendapat siput. Dari ikan hingga siput, menjadi mata pencarian suku Bajo. Semua yang dari laut adalah sumber nafkah mereka karena suku Bajo memang identik dengan laut….
Kajian 3
Kepulauan Wakatobi, Togean wilayah Sulawesi Tengah, Wori di Sulawesi Utara, dan Labuan Bajo di Nusatenggara Timur.








Kepulauan Bajo(bajau) di Wakatobi, Sulawesi
Pagi, pertengahan Desember silam di Dusun Bajo, Kecamatan Tanete Riatang, Kabupaten Watampone, Sulawesi Selatan. Perkampungan yang terletak sekitar 174 kilometer dari Makassar ini dihuni komunitas terbesar Suku Bajo. Suku Bajo adalah Sub Etnis Suku Bugis yang berasal dari pesisir Watampone. Sebagaimana Suku Bugis lainnya, warga Bajo mayoritas sebagai nelayan dan sangat ulung mengarungi lautan. Lantaran itu warga Bajo dapat ditemukan antara lain di Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Wakatobi, Togean wilayah Sulawesi Tengah, Wori di Sulawesi Utara, dan Labuan Bajo di Nusatenggara Timur. Warga Bajo di Watampone sebelumnya dikenal sebagai manusia yang menghuni rumah-rumah panggung di lepas pantai dan ini berlangsung selama dua generasi. Bila kini orang Bajo asli tinggal di daratan, penyebabnya adalah kebijakan pemerintah daerah setempat yang merelokasi mereka, empat tahun silam. Alasannya, keberadaan rumah panggung di kawasan lepas pantai merusak pemandangan dan menggangu pelayaran. Untuk sementara waktu, sambil mencari lahan yang tepat, Pemda mengizinkan mereka membangun tempat tinggal tak jauh dari bibir pantai. Rencana ke depan, pemda akan membangun lahan yang ditempati mereka itu menjadi pusat perbelanjaan dan rekreasi. Hidup di darat tak berarti tradisi selama hidup di lepas pantai, hilang. Mereka tetap menjalani kehidupan di rumah panggung yang dihuni secara bersama dan terdiri dari beberapa keluarga. Namun, sebagaimanan kehidupan nelayan pada umumnya, kehidupan sehari-hari warga Bajo pun tak pernah terbebas dari kemiskinan. Para nelayan hanya bisa menyekolahkan anaknya hingga tingkat sekolah dasar. Berbeda dengan nelayan di daerah lain, warga Bajo mencari ikan secara berkelompok. Tujuannya agar bisa saling membantu jika menemui kesulitan selama di tengah laut. Bertahun-tahun, kelompok nelayan biasanya terdiri atas beberapa perahu yang disebut lepa-lepa. Namun kini, terdapat satu perahu utama berbentuk kapal motor. Selain sebagai penunjuk jalan kapal ini juga berfungsi sebagai penampungan sementara hasil tangkapan dalam kondisi darurat. Mereka biasanya melego jangkar di lokasi yang diyakini banyak ikan. Jika sedang beruntung mendapatkan hasil tangkapan yang banyak mereka cukup melaut dari pagi hingga sore hari. Namun, sebaliknya kadang mereka harus berada di tengah laut dua atau tiga hari, hingga membawa hasil.
Hasil tangkapan biasanya ditampung di rumah seorang nelayan, sebelum dijual ke tempat pelelangan ikan keesokan harinya. Kelak, hasil penjualan tersebut akan dibagi-bagi. Pemilik kapal motor mendapat jatah 25 persen. Sisanya dibagi rata di antara awak kapal motor dan para nelayan yang menggunakan kapal tradisional. Tak selamanya mereka melaut. Hari Jumat adalah saat mereka beristirahat. Waktu senggang itu mereka gunakan juga memeriksa kondisi perahu, seperti halnya yang dilakukan Siking. Ia bersama adiknya, selepas salat Jumat mengecek kondisi perahu sehingga laik pakai. Genap empat tahun, Siking dan warga Bajo asli lainnya hidup di darat. Siking harus cepat-cepat mengecek kapalnya lantaran selepas Isya akan digelar pentas seni sederhana memperingati empat tahun mereka di darat. Siking, termasuk yang akan pentas dalam acara tersebut. Selepas Isya, warga sudah berkumpul di sebuah tanah lapang di sudut perkampungan. Para nelayan yang akan pentas sudah beranjak dari rumah Siking. Mereka akan mementaskan tari Angaruek, satu di antara sejumlah kesenian tradisional Suku Bajo.
Iringan musik terus mengalun melatarbelakangi gerakan sederhana para penari. Tari Angaruek memang sebuah tari sederhana dan tak harus dibawakan seorang seniman. Kesederhanaan ini seperti mewujudkan kesahajaan orang Bajo, termasuk rasa pasrah mereka menerima kenyataan direlokasi ke daratan.  

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rujukan:
Ahimsa, Heddy Shri. 1995. Levis-Strauss di Kalangan Suku Bajo: Analisis Struktural dan
Makna Cerita Suku Bajo. Yogyakarta: Kalam.
-------. 2001. Strukturalisme Levis-Strauss, Mitos, dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang
Press.
Alwi, Hasan., dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III). Jakarta: Balai Pustaka.
Badudu, J.S. 1984. Seri Kesusastraan Indonesia I dan II. Bandung: Pustaka Prima.
Barker, Chris. 2006. Cultural Studies: Teori dan Praktik (diindonesiakan Nurhadi).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Christomy, T. 2004. “Peircean dan Kajian Budaya”. T. Christomy dan Untung Yuwono
(Penyunting). Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia.
Culler, Jonathan. 1983. The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature, Deconstruction. London,
Melbourne and Henley: Routledge and Keganpauc.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Hadi, W. M., Abdul. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik
dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hag, Pendais. 2004. Suku Bajo (Studi tentang Interaksi Sosial Masyarakat Suku Bajo
dengan Masyarakat Sekitarnya di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara). Makassar:
PPS Universitas Negeri Makassar.
Handono, Suryo. 2005. “Keteguhan Adam Membuat Jarak dengan Tuhan: Memaknai Puisi
Dua Penyair Indonesia”. Alayasastra. Semarang: Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional.
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Helman, Cecil. 1984. Culture, Health, and Illness. Bristol: John Wright dan Sons, Ltd.
Herlina, Nur. 2005. “Makna Bhatata dalam Masyarakat Tolaki”. Kandai. Kendari: Kantor
Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
Herusatoto, Budiono. 2005. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha
Widia.
Hooykas, C. 1952. Penjedar Sastra (Terjemahan Ramoel Amar Gelar Datuk Besar). Jakarta:
J. B. Wolters.
Indrastuti, Kussuji, Novi Siti. 2007. “Semiotika: Michael Riffaterre dan Roland Barthes”.
Makalah. Yogyakarta: Belum diterbitkan.
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.
Noor, Redyanto. 2005. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra.
Poesporadjo, W, Dr. 1987. Interpretasi (Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya).
Jakarta: Remadja Karya CV.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. “Dewa Telah Mati: Kajian Strukturalisme Semiotik”. Teori
Penelitian Sastra. Staf Pengajar YGM dkk. Yogyakarta: Masyarakat Poetika
Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta.
-------. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta: Gramedia.
Preminger, Alex., dkk. (ed). 1974. Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics. Princeton:
Princeton University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Rusyana, Yus dan Raksanegara, Ami. 1978. Sastra Lisan Sunda: Cerita Karuhan,
Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sande, JS., et al. 1998. Struktur Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.
-------. 2004. “Tuhan, Kita Begitu Dekat: Semiotika Riffaterre”. T. Christomy dan Untung
Yuwono (Penyunting). Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan
dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia.
Sastrowardoyo, Subagio. 1975. Simponi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra (diindonesiakan Rachmat Djoko
Pradopo). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soesangobeng, H. 1997. Perkampungan Bajo di Bajoe. Ujung Pandang: Laporan Penelitian
PLPIIS.
Suciati, Sri. 1999. “Citra Diri Perempuan Indonesia dalam Analisis Semiotika Sajak-Sajak
Nikah Ilalang Karya Dorothea Rosa Herliany”. Sosiohumanika. Yogyakarta: Berkala
Penelitian Pasca Sarjana UGM.
Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik.
Sunarto, Achmad dan Syamsuddin Noor. 2005. Himpunan Hadits Shahih Bukhari. Jakarta:
An Nur.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
-------. 1982. Khazanah Kesastraan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
-------. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Thohir, Mudjahirin. 1999. “Selamatan Rasulan: Simbol dan Pemaknaannya”. Wacana
Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisiran. Semarang: Bendera.
-------. 2006. Orang Islam Jawa Pesisiran. Semarang: Fasindo.
Uniawati. 2006a. Fungsi Mantra Melaut pada Masyarakat Suku Bajo di Sulawesi Tenggara.
Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
-------. 2006b. “To Bajo”. Rahmania (Ed). Langkolee Si Kupu-Kupu: Antologi Cerita Rakyat
Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
Utomo, Imam Budi. 1997. “Penafsiran Simbol Konsepsi Mistik Serat Centini”, dalam
Pangsura. Bilangan 4 Jilid 3, Januari – Juni 1997.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (diindonesiakan Melani
Budianta). Jakarta: Gramedia.
Wardoyo, Subur Laksono. 2005. “Semiotic and Naration Structure” Kajian Sastra I (29), 2
Januari 2005, Universitas Diponegoro, Semarang.
Zaehner. 1994. Mistisisme Hindu Muslim. Yogyakarta: LKIS.
Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedoman Penelitian Sastra Daerah. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Zoest, Aart Van. 1991. Fiksi dan Nonfiks dalam Kajian Semiotik (diindonesiakan Manoekmi
Sardjo). Jakarta: Intermasa.
-------. dan Panuti Soedjiman. 1992. Serba-Serbi Semiotica. Jakarta: Gramedia Pustaka.
-------. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan
Dengannya (diindonesiakan Ani Soekawati) Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
http://www.liputan6.com/view/0,85886,1,0,1178518322.html.
http://bambangpriantono.multiply.com/journal/item/1229.
April 17, 2009 By: Kandar Category: Diskusi, Lingkungan
sumber : kornelis kewa ama (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/09/teropong/2967491.htm)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan